Minggu, 26 September 2010

Masalah Gulma Pada Tanaman


Masalah Gulma Pada Tanaman


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kehadiran gulma pada lahan tanaman budidaya sangat berpengaruh terhadap penurunan produksi tanaman di Desa Lambusa. Hal ini terjadi karena gulma memiliki daya kompetisi yang tinggi dalam memperoleh air, unsur hara, cahaya matahari, CO2, dan tempat tumbuh. Selain itu, gulma juga menjadi inang alternatif bagi serangga hama, penyakit dan nematoda tertentu (Rao,2000). Dengan demikian masalah gulma baru diketahui dalam persaingan nutrien untuk tanaman pokok (produksi), sebagai komponen ekosistem kemungkinan dapat dikelola sehingga tidak merugikan tanaman budidaya.
Gulma dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu : teki-tekian, rumput-rumputan,dan gulma daun lebar (Anonim, 2008). Ketiga kelompok gulma memiliki karakteristik tersendiri yang memerlukan strategi khusus untuk mengendalikannya. Dalam penelitian akan digunakan jenis gulma berdaun lebar yaitu Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum.
Identifikasi berasal dari kata identik yang artinya sama atau serupa dengan, dan untuk ini kita dapat terlepas dari nama latin. Nama latin suatu gulma akan sangat berarti karena nama tersebut diterima di internasional. Sebagai contoh jika kita menyebutkan nama babandotan, ahli gulma india atau afrika bahkan mungkin yang berasal dari luar pulau jawa sering tidak mengetahuinya. Tetapi dengan menyebut nama latinnya atau Ageratum conyzoides, L. maka hamper dapat dipastikan orang-orang tersebut mengetahuinya. Atau jika tidak, maka mereka dengan mudah mencari informasi dengan berpegangan pada nama latin gulma tersebut.
Nama latin suatu jenis gulma biasanya terdiri dari dua kata. Kata pertama menunjukkan marganya yang selalu dimulai dengan huruf besar sedangkan kata kedua menunjukkan jenis yang selalu dimulai dengan huruf kecil. Dibelakang nama tersebut terdapat pula singkatan nama orang yang pertama kali membuat determinasi jenis tersebut. Contoh : Panicum repens L. Huruf L adalah singkatan dari Linnaeus, seorang ahli tumbuh-tumbuhan dari swedia yang pertama kali membuat determinasi gulma P.repens. Dalam mengidentifikasi gulma dapat ditempuh satu atau kombinasi dari sebagian atau seluruh cara dibawah ini :
1. Membandingkan gulma tersebut dengan material yang telah diidentifikasi
dengan herbarium.
2. Konsultasi langsung dengan ahli dibiddang bersangkutan
3. Mencari sendiri dengan menggunakan kunci identifikasi
4. Membandingkan dengan determinasi yang ada
5. Membanduingkan dengan ilustrasi yang tersedia.
Untuk mengidentifikasi gulma dengan kata kunci tentunya kita harus memahami sifat-sifat generative dan vegetative dari gulma tersebut. Bagian vegetative gulma. Bagian vegetative gulma yang dapat dipakai sebagai factor identifikasi adalah akar, batang, dan daun.
Akar
Perakaran pada gulma dapat berupa akar tunggang (biasanya ditemui pada golongan berdaun lebar) dan akar serabut yang biasanya ditemui pada gulma golongan rerumputan dari teki-tekian.
Batang
Bagian batang yang menjadi ciri identifikasi gulma antara lain adalah:
Bentu: bulat, segitiga, lonjong, pipih, berongga, segi empat, segi lima. Pertumbuhan : menjalar, melilit, tegak, bercabang banyak, bercabang enggarpu.
Daun
Bagian daun yang dapat digunakan menjadi cirri identifikasi gulma antara lain :
Bentuk daun : bulat, lanset, lonjong, pita, jarum, jantung, segi tiga, dsb.
Warna daun : hijau tua, hijau, kuning, merah, ungu, dsb.
Tepi daun : rata, bergerigi, bergigi, berombak,dsb.
Daging daun : tebal, tipis, kaku, dsb
Duduk daun : berhadapan, tersebar, berhadapan-bersilangan, berkarang, dsb.
Jumlah daun : tuggal, majemuk
Tulang daun : menyirip, menjari, lurus/sejajar.
Ujung daun : runcing, meruncing, berlekuk, rata, bulat,
Pangkal daun : bulat, membulat, runcing, meruncing, rata, dsb.
Modifikasi akar, batang dan daun
Berupa rimpang, stolon, umbi lapis, dan akar tinggal.
Pada strutur generative untuk mengidentifikasi gulma terdiri dari bunga, buah dan biji.
Bunga
Bagian bunga yang biasa menjadi factor indikasi adalah :
Jumlah bunga : tunggal atau majemuk
Letak bunga : di ujung, tersebar, dll.
Bentuk bunga : bonggol, bulir, malai, dsb
Warna bunga : merah, hijau, kuning, dll
Simetri bunga : asimetri, simetri bilateral,dll
Buah
Jenis buah : buah sejati, atau buah semu.
Daging buah : buah berdaging ( buah buni, pepo, batu, empulur, dll) buah kering (berbiji tunggal, polong, dll)
Biji
Biji dapat ditandai dengan cirri-ciri berlainan, misalnya : bentuk, warna, ukuran, dan keadaan permukaan yang tidak sama. Sebagai contoh : pada Amaranthaceae bijinya berwarna hitam dan mengkilat

1.2. Maksud dan Tujuan
Mengemal nama-nama jenis gulma (khususnya jenis gulma rumput) sesuai dengan naman yang diterima di dunia internasional.dan jenis-jenis gulma yang bersifat negative terhadap tanaman budidaya.

1.3. Pendekatan Masalah
Gulma adalah tumbuhan yang merugikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Gulma dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu : teki-tekian, rumput-rumputan, dan gulma daun lebar(Anonim, 2008). Ketiga kelompok gulma memiliki karakteristik tersendiri yang memerlukan strategi khusus untuk mengendalikannya. Dalam penelitian akan digunakan jenis gulma berdaun lebar yaitu Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum.
Gulma banyak didapatkan di lahan yang terbuka dan dapat bertahan hidup pada lingkungan yang kurang subur, hal ini menarik untuk diamati terutama pada tanaman Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum. Menurut Sieverding (1991), bahwa tumbuhan Eupatorium odoratum dapat digunakan untuk tanaman inang dari endomikoriza, dengan demikian maka pengamatan tentang peningkatan jumlah inokulan atau propagul dari endomikoriza dapat digunakan sebagai tanaman inang.
Mikoriza apabila menginfeksi jaringan akar tanaman maka akan ada selama tanaman tersebut hidup. Hal tersebut ada kemungkinan diantara jenis gulma, Ageratum conyzoides dan Eupatorium odoratum mempunyai asosiasi/simbiosis dengan jenis spora endomikoriza tertentu. Asosiasi Endomikoriza terjadi bila cendawan masuk ke dalam akar atau melakukan infeksi. Proses infeksi dimulai dengan perkecambahan spora dalam tanah. Hifa yang tumbuh berpenetrasi ke dalam akar lalu berkembang dalam korteks. Pada akar yang terinfeksi akan terbentuk hifa interseluler yang tidak bercabang, terletak di ruangan antar sel. Selain itu juga akan terbentuk hifa intraseluler yang bercabang secara dichotomy (arbuskular), atau yang membengkok menjadi bulat atau bulat memanjang (vesikel) dan hifa yang mengering (hifa gelung) (Anas dan Santosa, 1993).
Perkembangan arbuskula mengikuti perkembangan hifa yang masuk ke dalam sel. Arbuskula berkembang dengan sel korteks dari sub batang pada internal hifa. Vesikel terinisiasi segera setelah adanya arbuskul pertama, akan tetapi diteruskan berkembang ketika adanya arbuskul kedua. Fase terakhir, merupakan arbuskul yang memenuhi sel (terbentuknya batang hifa yang terbaik). Hifa pada jaringan korteks akar berkembang menyilang seperti dinding pada asosiasi tua. Penetrasi hifa dan perkembangannya biasanya terjadi pada bagian yang masih mengalami proses diferensiasi dan proses pertumbuhan. Perkembangan hifa ini tidak merusak sel (Anas dan Santosa, 1993).
Endomikoriza membentuk organ-organ khusus dan mempunyai peranan yang juga spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscle), vesikel (vesicle) dan spora.

1.4 Metodelogi Praktikum
Metode praktikum dilakukan dalam satu tahap, yaitu tahap lansung ke lapangan,
Tahapan ini adalah lapangan meliputi survey lokasi praktikum dengan menggunakan metoda jelajah untuk mengetahui kondisi dan gambaran umum lokasi di Kec. Konda Desa Lambusa.

1.5. Waktu dan Lokasi Praktikum
Praktikum ini dilakukan pada Tanggal 29-Mei-2010 langsung ke lapangan di Desa… Kec.Konda, Desa Lambusa

1.6. Metode Pelaksanaan
Metode yang digunakan yaitu metode wawancara langsung dan survei serta kepustakaan atau menggunakan literatur



BAB II
PEMBAHASAN

Masalah yang dihadapi oleh petani di Desa Lambusa yaitu kekeringan tanah yang ditandai dengan tanah yang berwarna karat kemerahan. Ini merupakan seluruh lahan yang ada di Desa Lambusa mengalami leveling off. Dimana leveling off terjadi karena akibat dari petani Di Desa Lambusa memberi ououk kimiawi secara berlebihan, akibatnya unsur-unsur yang berada di dalam tanah teramsuk unsur hara mati.
Penggunaan pupuk di tingkat petani terus meningkat seiring dengan meningkatnya luas panen, dosis serta jenis pupuk yang digunakan dalam upaya untuk meningkatkan produksi padi. Sampai saat ini pupuk belum digunakan secara rasional sesuai kebutuhan tanaman serta kemampuan tanah menyediakan unsur-unsur hara, sifat-sifat tanah, kualitas air pengairan dan pengelolaannya oleh petani. Kelebihan pemberian pupuk selain merupakan pemborosan dana, juga mengganggu keseimbangan unsur-unsur hara dalam tanah dan pencemaran lingkungan, sedangkan pemberian pupuk yang terlalu sedikit tidak dapat memberikan tingkat produksi yang optimal. Sampai saat ini pemupukan P dan K untuk padi sawah masih bersifat umum yaitu sekitar 100- 150 kg TSP/ha/musim tanam dan 100 kg KCl/ha/musim tanam. Penentuan rekomendasi tersebut dilakukan tanpa mempertimbangkan kandungan hara P dan K dalam tanah dan keperluan hara bagi tanaman padi, sehingga kurang efisien. Oleh karena itu, perlu diketahui berapa kandungan hara P dan K lahan sawah agar penentuan dosis pupuk lebih rasional.
Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang adalah salah satu faktor kunci untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas lahan pertanian, khususnya di daerah tropis. Dalam implementasinya, penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang perlu memperhatikan kadar hara di dalam tanah, jenis dan mutu pupuk, dan keadaan pedo-agroklimat, serta mempertimbangkan unsur hara yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berproduksi optimal. Pendekatan ini dapat dilaksanakan dengan baik dan menguntungkan jika rekomendasi pemupukan berdasarkan pada hasil uji tanah dan analisis tanaman dengan menggunakan metodologi yang tepat dan teruji. Rekomendasi pemupukan adalah suatu rancangan yang meliputi jenis dan takaran pupukserta cara dan waktu pemupukan untuk tanaman pada areal tertentu. Dampak yang diharapkan dari suatu rekomendasi pemupukan adalah tepat jenis, tepat takaran, tepat cara dan tepat waktu. Untuk itu diperlukan metode uji tanah, analisis tanaman atau metode pemupukan. Suatu hara ke dalam tanah akan mengubah keseimbangan hara lainnya. Dengan demikian, walaupun telah diketahui takaran pupuk melalui percobaan pemupukan, tetapi dalam penerapannya dapat terjadi penyimpangan meskipun pada tanah yang sama dengan lokasi percobaan. Penyimpangan tersebut akan lebih kecil daripada rekomendasi yang makin detail. Pengelolaan secara intensif lahan sawah irigasi selama ini kurang diikuti oleh penerapan kaidah-kaidah pelestarian kesuburan dan produktivitas lahan. Eksploitasi lapisan olah tanah secara intensif yang berlangsung bertahun-tahun menyebabkan deteorasi fisik-kimia tanah. Padahal, Rekomendasi Pemupukan Padi Sawah Spesifik Lokasi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo, 2008.
Apapun varietas padi yang ditanam apabila tidak ditunjang oleh lingkungan tumbuh perakaran yang baik, penampilan dan produktivitas tanaman padi yang optimal sulit diperoleh (kartasasmita dan Fagi, 1999). Upaya peningkatan produktivitas lahan sawah melalui perbaikan status hara tanah dihadapkan pada kendala belum tersedianya informasi rekomendasi pemupukan yang rasional, Khususnya pemupukan P dan K masih didasarkan pada rekomendasi yang bersifat umum dan belum didasarkan pada kemampuan tanah menyediakan hara dan kebutuhan hara tanaman. Padahal pada kenyataannya tidak semua lahan sawah memerlukan pupuk P dan K dalam jumlah yang sama, ada yang perlu banyak dan ada yang perlu hanya sedikit pupuk, bahkan ada pula tanah yang tidak memerlukan tambahan pupuk bila kadar haranya sudah sangat tinggi. Untuk menentukan dosis pupuk yang sesuai, perlu diketahui status hara P dan K, dilanjutkan dengan penyusunan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi.
Penurunan produktivitas atau rendahnya peningkatan produksi padi sawah disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:
1) rendahnya produktivitas tanah dan efisiensi pemupukan;
2) belum tersedianya rekomendasi pemupukan spesifik lokasi yang didasarkan pada kemampuan tanah menyediakan hara dan kebutuhan tanaman; serta
3) tingginya kehilangan hasil akibat penanganan pasca panen yang tidak efisien. Kondisi ini diperparah lagi dengan permasalahan rendahnya pendapatan petani padi sawah, akibat tidak adanya upaya untuk melakukan diversifikasi usaha tani untuk memperluas sumber pendapatan.

Berbagai jenis artropoda terdapat dalam ekosistem padi sawah. Pada umumnya artropoda terdiri dari phytophagous, parasitoid, predator dan patogen. Musuh alami berperan dalam keseimbangan hayati sehingga dapat mencegah atau mengurangi meningkatnya populasi hama. Hama utama tanaman padi antara lain wereng dan penggerek batang. Keanekaragaman hayati artropoda khususnya agensia hayati sebelum pengendalian hama terpadu (PHT), khususnya di daerah pelaksanaan PHT lebih sederhana (sedikit) dibandingkan dengan sesudah PHT. Sebelum pelaksanaan PHT, musuh alami tidak mampu menurunkan populasi hama utama padi, karena populasinya rendah akibat perlakuan insektisida yang tidak bijaksana. Sebaliknya setelah pelaksanaan PHT mampu menurunkan populasi musuh alami. Musuh alami utama wereng antara lain, Lycosa pseudoannulata Boesenberg, Coccinella sp., Paederus sp., Ophionea sp., Cyrtorhinus lividipennis Reuter., sebagai predatornya sedangkan Oligosita sp., Anagrus sp., dan Gonatocerus sp. sebagai parasitoid. Patogen yang efektif terhadap wereng antara lain Hirsutella citriformis dan Metarrhizium anisopliae. Musuh alami penggerek batang padi antara lain : Trichogramma japonicum Ashm., Telenomus rowani Gah., dan Tetrastichus schoenobii Ferr. Potensi musuh alami khususnya parasitoid dan predator cukup besar untuk menurunkan populasi hama ditinjau dari laju pertumbuhan musuh alami dan kemampuan memangsa atau memarasit. Untuk meningkatkan dan mempertahankan musuh alami dapat dilakukan pelestarian musuh alami melalui inang alternatif, pengelolaan gulma dan sisa tanaman, penggunaan pestisida secara bijaksana dan penyediaan makanan buatan.
Predator adalah binatang yang memakan binatang lain. Sebagian besar predator bersifat polifag artinya memangsa berbagai jenis binatang yang berbeda. Disamping itu sebagian predator bersifat kanibal, artinya memangsa sesamanya. Banyak jenis predator yang memangsa wereng, tetapi hanya beberapa yang mempunyai porensi menurunkan populasi wereng yaitu Lycosa pseudoannulata (Araneida; Lycosidae), Paederus sp. (Coleoptera; Coccinellidae), Ophionea sp. (Coleoptera; Carabidae), Coccinella sp. (Coleoptera; Coccinellidae) dan Cyrtorhinus lividipennis (Hemiptera; Miridae).
L. pseudoannulata mempunyai sifat kanibal bila tidak ada mangsa. Mencari mangsa pada malam hari serta berpindah sangat cepat. Siklus hidup L. pseudoannulata 3-4 bulan. L. pseudoannulata memangsa penggerek batang, wereng. Kemampuan memangsa 4 WBC/hari (Vreden and Zabidi, 1986; Kartohardjono et al., 1989).
Ophionea sp. memangsa 2,73 WBC/hari, sedangkan kombinasi dari 2 Paederus sp. + 1 Ophionea sp. mampu memangsa 7 WBC/hari (Kartohardjono, 1988). Pada pertanaman padi di Klaten MP. 1986/1987, Ophionea sp. dijumpai pada minggu kelima setelah tanam dan populasinya meningkat jika WBC meningkat (Kartohardjono, 1988). Kedua predator tersebut mampu menurunkan populasi wereng sehingga dapat berperan sebagai musuh alami yang potensial (Tabel 2).
Tanaman padi yang dibudidayakan tanpa pestisida dapat memberikan hasil relatif tinggi (Untung, 1992). Dikemukakan pula bahwa tanpa pestisida, biodiversitas ekosistem dapat ditingkatkan sehingga musuh alami yang ada di pertanaman dapat berperan maksimal dalam mengatur populasi hama. Pada umumnya petani mengatasi serangan hama dilakukan dengan tujuan pengendalian hama saja, tanpa memperhatikan keanekaragaman hayati pada ekosistem pertaniannya. Oleh karena itu, sejalan dengan kebijakan pemerintah mengenai program pengendalian hama berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dapat dilakukan melalui konsep PHT. Teknologi PHT dapat diharapkan stabilitas ekosistem, sehingga pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dapat terwujud. Dampak implementasi PHT dapat dilihat secara jelas melalui penggunaan pestisida. Petani yang sudah SLPHT menggunakan pestisida lebih sedikit dibandingkan petani non SLPHT (Tabel 6). Untuk daerah tertentu khususnya Sulawesi Selatan, penggunaan insektisida lebih tinggi pada petani SLPHT, hal ini disebabkan karena serangan hama penggerek batang di Sulawesi Selatan lebih dominan dibandingkan WBC, oleh sebab itu penggunaan insektisida butiran lebih tinggi. Insektisida butiran bersifat sistemik dan efektif terhadap hama sasaran seperti PBP. Untuk insektisida cairan daerah Jawa Timur dan Sulawesi Selatan lebih tinggi, hal ini kemungkinan terjadi outbreak hama selain PBP.
Pengurangan atau tanpa penggunaan pestisida dapat meningkatkan keanakaragaman hayati serangga dan peranan musuh alami. Jenis dan populasi artropoda dipengaruhi oleh pestisida. Pada pertanian yang tidak diaplikasi dengan pestisida, jenis dan populasi artropoda lebih banyak daripada aplikasi pestisida. Kasus tersebut berlaku pada tanam serempak atau tanam tidak serempa
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

• Identifikasi gulma dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya yaitu dengan mengamati sifat-sifat vegetatif dan generatif dari gulma dan kemudian diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi gulma.
• Untuk mengidentifikasi gulma kita terlebih dahulu harus memahami dan mengamati sifat-sifat vegetatif maupun generatif dari gulma tersebut. Sifat vegetatif terdiri dari akar, batang, daun, serta modifikasi dari akar, batang dan daun, sedangkan sifat generatif terdiri dari bunga, buah dan biji.
• Pada gulma rumput ini ada yang tergolong gulma tahunan , gulma semusim dan gulma setahun.dan biasanya memiliki perakaran yang serabut.gulma rumput semusim biasanya tumbuh melimpah tetapi kurang menimbulkan masalah di bandingkan dengan rumput tahunan.

DAFTAR PUSTAKA

www.google.com / Gulma
Praktikum yang dilaksanakan hari Saptu ,29 Mei 2010 di Kec. Konda Desa Lambusa
Fakultas Pertanian , Universitas Haluoleo
Arie, Arifin. 1994. Perlindungan Tanaman, Hama Penyakit dan Gulma. Surabaya: Usaha Nasional.
Barus, Emanuel. 2003. Pengendalian Gulma Di Perkebunan. Yogyakarta: Kanisus.
Moernadis, Jody. 1990. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma (Ilmu Gulma-Buku I). Jakarta: Rajawali Pers.
Sukman Yakub, Yernelis. 2001. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Fakultas pertanian Universitas Sriwijaya : Palembang
Tjitrosoepomo, Gembong. 2003. Morfologi Tumbuhan. Gadjah Mada Universty Press : Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar